Cerita Rakyat Daerah Istimewa
Yogyakarta
Daerah Istimewa
Yogyakarta adalah Daerah Istimewa setingkat provinsi di Indonesia yang
merupakan peleburan Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara Kadipaten Paku
Alaman. Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa
bagian tengah dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia.,
Yogyakarta menyimpan seribu cerita, dan seribu legenda, mau tau apa aja, simak ya
Lara Jonggrang dan Bandung Bondowoso.
Di dekat kota Yogyakarta terdapat candi Hindu
yang paling indah di Indonesia. Candi ini dibangun dalam abad kesembilan
Masehi. Karena terletak di desa Prambanan, maka candi ini disebut candi
Prambanan tetapi juga terkenal sebagai candi Roro Jonggrang, sebuah nama yang
diambil dari legenda Lara Jonggrang dan Bandung Bondowoso.
Beginilah ceritanya.Konon tersebutlah seorang
raja yang bernama Prabu Baka. Beliau bertahta di Prambanan. Raja ini seorang
raksasa yang menakutkan dan besar kekuasaannya. Meskipun demikian, kalau sudah
takdir, akhirnya dia kalah juga dengan Raja Pengging. Prabu Baka meninggal di
medan perang. Kemenangan Raja Pengging itu disebabkan karena bantuan orang kuat
yang bernama Bondowoso yang juga terkenal sebagai Bandung Bondowoso karena dia
mempunyai senjata sakti yang bernama Bandung. Dengan persetujuan Raja
Pengging, Bandung Bondowoso menempati Istana Prambanan. Di sini dia terpesona
oleh kecantikan Roro Jonggrang, putri bekas lawannya -- ya, bahkan putri raja
yang dibunuhnya.
Bagaimanapun juga,
dia akan memperistrinya. Roro Jonggrang takut menolak pinangan itu. Namun
demikian, dia tidak akan menerimanya begitu saja. Dia mau kawin dengan Bandung
Bondowoso asalkan syarat-syaratnya dipenuhi. Syaratnya ialah supaya dia
dibuatkan seribu candi dan dua sumur yang dalam. Semuanya harus selesai dalam
waktu semalam. Bandung Bondowoso menyanggupinya, meskipun agak keberatan. Dia
minta bantuan ayahnya sendiri, orang sakti yang mempunyai bala tentara roh-roh
halus. Pada hari yang ditentukan, Bandung Bondowoso beserta pengikutnya dan
roh-roh halus mulai membangun candi yang besar jumlahnya itu.
Sangatlah
mengherankan cara dan kecepatan mereka bekerja. Sesudah jam empat pagi hanya
tinggal lima buah candi yang harus disiapkan. Di samping itu sumurnya pun sudah
hampir selesai. Roro Jonggrang akan terpenuhi. Apa yang harus diperbuat? Segera
gadis-gadis dibangunkan dan disuruh menumbuk padi di lesung serta menaburkan
bunga yang harum baunya. Mendengar bunyi lesung dan mencium bau bunga-bungaan
yang harum, roh-roh halus menghentikan pekerjaan mereka karena mereka kira hari
sudah siang.
Pembuatan candi
kurang sebuah, tetapi apa hendak dikata, roh halus berhenti mengerjakan
tugasnya dan tanpa bantuan mereka tidak mungkin Bandung Bondowoso
menyelesaikannya. Keesokan harinya waktu Bandung Bondowoso mengetahui bahwa usahanya
gagal, bukan main marahnya. Dia mengutuk para gadis di sekitar Prambanan --
tidak akan ada orang yang mau memperistri mereka sampai mereka menjadi perawan
tua. Sedangkan Roro Jonggrang sendiri dikutuk menjadi arca. Arca tersebut
terdapat dalam ruang candi yang besar yang sampai sekarang dinamai candi Roro
Jonggrang. Candi-candi yang ada di dekatnya disebut Candi Sewu yang artinya
seribu.
Joko Kendil dan Si Gundul
Daerah istimewa
Yogyakarta – salah satu cerita rakyat yang cukup terkenal dari DIY adalah Joko
Kendil dan Si Gundul. Cerita rakyat ini adalah merupakan salah satu cerita
rakyat Indonsia yang cukup terkenal khususnya di daerah asalnya yaitu
Yogyakarta. Cerita ini berkisah tentang dua orang anak yang bersahabat walaupun
memiliki perbedaan. Sebuah cerita yang dapat mengajarkan kita bahwa
persahabatan itu tidak mengenal derajat hidup seseorang. Untuk lebih jelasnya
marilah kita simak cerita rakyat dari daerah istimewa Yogyakarta yang berjudul
Joko Kendil dan Si Gundul.
Di sebuah desa dekat pedalaman Yogyakarta
hiduplah seorang anak bernama Joko Kendil. Dia di beri nama Joko Kendil karena
bentuk tubuhnya yang bulat seperti kendil atau periuk. Joko Kendil tinggal
bersama ibunya. Walaupun sering diejek oleh masyarakat sekitar Joko Kendil
tidak pernah berkecil hati, dia tetap ringan tangan membantu penduduk di pasar.
Tubuh Joko Kendil yang bulat menyebabkan tidak ada seorangpun yang mau berteman
dengannya. sehari-hari Joko Kendil hanya berdua saja dengan ibunya melakukan
kegiatan sehari-hari.
Suatu hari dikampung tersebut kedatangan lagi
sebuah warga baru yang tidak jauh berbeda dengan keluarga Joko Kendil. Mereka
adalah keluarga sederhana dan memiliki seorang anak lelaki yang kurus tinggi
serta kepalanya yang gundul. Jika terkena matahari kepala anak lelaki itu jadi
berkilat dan membuatnya semakin lucu. Karena kepalanya yang gundul maka dia
diberi nama si Gundul. Sama seperti Joko Kendil, si Gundul juga tidak memiliki
seorang teman. Dia sering diejek oleh masyarakat, hal ini menyebabkan si Gundul
menjadi rendah diri dan tersisih. Suatu hari si Gundul bertemu dengan Joko
Kendil. Bersama Joko Kendil dia tidak di ejek malah sebaliknya Joko Kendil
sangat bersahabat. Sejak itulah si Gundul dan Joko Kendil senantiasa
bersama-sama dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
Walaupun terlihat lucu dan botak ternyata si
Gundul memiliki banyak keahlian, si Gundul sangat mahir membuat layangan.
Berdua bersama Joko kendil mereka membuat layangan yang besar yang tidak pernah
dibuat oleh anak-anak di kampung tersebut. Joko Kendil sangat senang ketika si
Gundul memberikan layangan itu untuk dimainkan olehnya. Selain itu si Gundul
juga mahir memanah. Dia mengajarkan Joko Kendil cara memanah yang baik. Dalam
waktu singkat saja Joko Kendil sudah semakin mahir memanah, sasarannya
senantiasa tepat walaupun dalam jarak yang jauh.
Pada suatu hari, Joko Kendil mendengar berita
yang sedang banyak dibicarakan oleh orang-orang di pasar. Berita tentang raja
yang mempunyai tiga orang putri yang cantik dan raja yang sedang mencari
menantu untuk putrinya. Mendengar berita itu Joko Kendil bermaksud untuk
meminang salah satu dari ketiga putri raja tersebut. Ibunya yang mengetahui
niat Joko Kendil merasa keberatan dan sedih sebab takut anaknya tidak akan
diterima oleh raja. Warga kampung semakin banyak yang mengolok-olok Joko Kendil
tentang maksudnya meminang salah satu putri raja. Hanya si Gundul yang memberi
semangat kepada Joko Kendil. Menurutnya, kebaikan hati dan kemuliaan budi
pekerti Joko Kendil akan membawanya pada kebaikan.
Maka berangkatlah Joko Kendil bersama ibunya
menuju istana, si Gundul memberikan busur panah kesayangannya kepada Joko
Kendil sebagai kenang-kenangan dan senjata untuk berjaga-jaga selama di
perjalanan. Ketika tiba di istana, raja memanggil ketiga putrinya. Putri yang
pertama dan kedua langsung menolak lamaran Joko Kendil begitu melihat wujudnya
yang bulat seperti periuk. Namun putri yang ketiga malah menerima pinangan
tersebut. Maka walaupun dengan berat hati akhirnya raja menerima pinangan tersebut
dan menikahlah putri bungsunya dengan Joko Kendil. Hari berganti hari, pada
suatu ketika di istana sedang diadakan perlombaan memanah. Ketika itu ada
seorang pemudah yang tampan mampun memanah dengan baik. Sasarannya tidak pernah
meleset, wajahnya yang tampan membuat putri sulung dan putri yang kedua menjadi
simpati dan berusaha untuk memikatnya. Mereka mengejek si bungsu karena
bersedia menikah dengan Joko Kendil yang buruk rupa.
Karena selalu di hina oleh kedua kakaknya, si
bungsu menangis dan berlari ke dalam kamar. Sesampainya di dalam kamar putri
bungsu menemukan sebuah guci, dengan geram guci tersebut di banting ke lantai.
Kemudian tiba-tiba datanglah seorang pemuda tampan yang mahir memanah. Putri
bungsu menjadi terkejut, lalu pemuda itu menjelaskan bahwa dia adalah Joko
Kendil. Karena guci itu telah di banting putri maka Joko Kendil tidak bisa lagi
berubah menjadi bentuk penyamarannya. Lalu Joko Kendil menanyakan pada sang
putri adakah putri mau menerima dirinya dalam bentuk pemuda yang tampan. Sang
putri sangat gembira dan memberitahu kepada ayahnya bahwa pemuda yang mahir
memanah itu adalah Joko Kendil.
Setelah hidup bahagia bersama putri di istana
Joko Kendil tidak lupa pada sahabatnya si Gundul. Joko Kendil kembali ke
kampungnya dan menemui si Gundul lalu mengajaknya untuk tinggal di istana.
Mulanya si Gundul menolak sebab takut jika Joko Kendil akan malu jika mempunyai
sahabat gundul seperti dirinya. Namun Joko Kendil tidak memikirkan hal itu,
akhirnya si Gundul di bawa ke istana dan menjadi pelatih memanah bagi prajurit
istana dan hidup bahagia bersama sahabatnya.
Cerita Rakyat
Yogyakarta tentang Joko Kendil dan Si Gundul yang mempunyai bentuk tubuh tidak
bagus seperti orang lainnya. Tetapi kebesaran hatilah yang membuat semua hinaan
tidak berarti.
Mitos Kanjeng
Ratu Kidul dalam Masyarakat Jawa
Kanjeng Ratu Kidul = Dewi Srengenge
Di suatu masa, hiduplah seorang putri cantik
bernama Kadita. Karena kecantikannya, ia pun dipanggil Dewi Srengenge yang
berarti matahari yang indah. Dewi Srengenge adalah anak dari Raja Munding
Wangi. Meskipun sang raja mempunyai seorang putri yang cantik, ia selalu
bersedih karena sebenarnya ia selalu berharap mempunyai anak laki-laki. Raja
pun kemudian menikah dengan Dewi Mutiara, dan mendapatkan putra dari perkawinan
tersebut. Maka, bahagialah sang raja.
Dewi Mutiara ingin
agar kelak putranya itu menjadi raja, dan ia pun berusaha agar keinginannya itu
terwujud. Kemudian Dewi Mutiara datang menghadap raja, dan meminta agar sang
raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu raja menolak. “Sangat
menggelikan. Saya tidak akan membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar
pada putriku”, kata Raja Munding Wangi. Mendengar jawaban itu, Dewi Mutiara pun
tersenyum dan berkata manis sampai raja tidak marah lagi kepadanya. Tapi
walaupun demikian, dia tetap berniat mewujudkan keinginannya itu.
Pada pagi harinya, sebelum matahari terbit,
Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk memanggil seorang dukun. Dia ingin sang
dukun mengutuk Kadita, anak tirinya. “Aku ingin tubuhnya yang cantik penuh
dengan kudis dan gatal-gatal. Bila engkau berhasil, maka aku akan memberikan
suatu imbalan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya.” Sang dukun menuruti
perintah Sang Ratu. Pada malam harinya, tubuh Kadita telah dipenuhi dengan kudis
dan gatal-gatal. Ketika dia terbangun, dia menyadari tubuhnya berbau busuk dan
dipenuhi dengan bisul. Puteri yang cantik itu pun menangis dan tak tahu harus
berbuat apa.
Ketika Raja mendengar kabar itu, beliau
menjadi sangat sedih dan mengundang banyak tabib untuk menyembuhkan penyakit
putrinya. Beliau sadar bahwa penyakit putrinya itu tidak wajar, seseorang pasti
telah mengutuk atau mengguna-gunainya. Masalah pun menjadi semakin rumit ketika
Ratu Dewi Mutiara memaksanya untuk mengusir puterinya. “Puterimu akan
mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri,” kata Dewi Mutiara. Karena Raja
tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh negeri, akhirnya
beliau terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya ke luar
dari negeri itu.
Puteri yang malang itu pun pergi sendirian,
tanpa tahu kemana harus pergi. Dia hampir tidak dapat menangis lagi. Dia memang
memiliki hati yang mulia. Dia tidak menyimpan dendam kepada ibu tirinya,
malahan ia selalu meminta agar Tuhan mendampinginya dalam menanggung
penderitaan..
Hampir tujuh hari dan tujuh malam dia berjalan
sampai akhirnya tiba di Samudera Selatan. Dia memandang samudera itu. Airnya
bersih dan jernih, tidak seperti samudera lainnya yang airnya biru atau hijau.
Dia melompat ke dalam air dan berenang. Tiba-tiba, ketika air Samudera Selatan
itu menyentuh kulitnya, mukjizat terjadi. Bisulnya lenyap dan tak ada
tanda-tanda bahwa dia pernah kudisan atau gatal-gatal. Malahan, dia menjadi
lebih cantik daripada sebelumnya. Bukan hanya itu, kini dia memiliki kuasa
untuk memerintah seisi Samudera Selatan. Kini ia menjadi seorang peri yang
disebut Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Samudera Selatan yang hidup selamanya.
Kanjeng Ratu Kidul = Ratna Suwinda
Tersebut dalam Babad Tanah Jawi (abad ke-19),
seorang pangeran dari Kerajaan Pajajaran, Joko Suruh, bertemu dengan seorang
pertapa yang memerintahkan agar dia menemukan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur.
Karena sang pertapa adalah seorang wanita muda yang cantik, Joko Suruh pun
jatuh cinta kepadanya. Tapi sang pertapa yang ternyata merupakan bibi dari Joko
Suruh, bernama Ratna Suwida, menolak cintanya. Ketika muda, Ratna Suwida
mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit. Kemudian ia pergi ke pantai
selatan Jawa dan menjadi penguasa spiritual di sana. Ia berkata kepada
pangeran, jika keturunan pangeran menjadi penguasa di kerajaan yang terletak di
dekat Gunung Merapi, ia akan menikahi seluruh penguasa secara bergantian.
Generasi selanjutnya, Panembahan Senopati,
pendiri Kerajaan Mataram Ke-2, mengasingkan diri ke Pantai Selatan, untuk
mengumpulkan seluruh energinya, dalam upaya mempersiapkan kampanye militer
melawan kerajaan utara. Meditasinya menarik perhatian Kanjeng Ratu Kidul dan
dia berjanji untuk membantunya. Selama tiga hari dan tiga malam dia mempelajari
rahasia perang dan pemerintahan, dan intrik-intrik cinta di istana bawah
airnya, hingga akhirnya muncul dari Laut Parangkusumo, kini Yogyakarta Selatan.
Sejak saat itu, Ratu Kidul dilaporkan berhubungan erat dengan keturunan
Senopati yang berkuasa, dan sesajian dipersembahkan untuknya di tempat ini
setiap tahun melalui perwakilan istana Solo dan Yogyakarta.
Begitulah dua buah kisah atau legenda mengenai
Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan. Versi
pertama diambil dari buku Cerita Rakyat dari Yogyakarta dan versi yang kedua
terdapat dalam Babad Tanah Jawi. Kedua cerita tersebut memang berbeda, tapi
anda jangan bingung. Anda tidak perlu pusing memilih, mana dari keduanya yang
paling benar. Cerita-cerita di atas hanyalah sebuah pengatar bagi tulisan
selanjutnya.
Kanjeng Ratu Kidul dan Keraton
Yogyakarta
Percayakah anda dengan cerita tentang Kanjeng
Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan? Sebagian dari anda
mungkin akan berkata TIDAK. Tapi coba tanyakan kepada mereka yang hidup dalam
zaman atau lingkungan Keraton Yogyakarta. Mereka yakin dengan kebenaran cerita
ini. Kebenaran akan cerita Kanjeng Ratu Kidul memang masih tetap menjadi
polemik. Tapi terlepas dari polemik tersebut, ada sebuah fenomena yang nyata,
bahwa mitos Ratu Kidul memang memiliki relevansi dengan eksistensi Keraton
Yogyakarta. Hubungan antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Keraton Yogyakarta paling
tidak tercantum dalam Babad Tanah Jawi (cerita tentang kanjeng Ratu Kidul di
atas, versi kedua). Hubungan seperti apa yang terjalin di antara keduanya?
Y. Argo Twikromo dalam bukunya berjudul Ratu
Kidul menyebutkan bahwa masyarakat adalah sebuah komunitas tradisi yang
mementingkan keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan hidup. Karena hidup ini
tidak terlepas dari lingkungan alam sekitar, maka memfungsikan dan memaknai
lingkungan alam sangat penting dilakukan.
Sebagai sebuah hubungan komunikasi timbal
balik dengan lingkungan yang menurut masyarakat Jawa mempunyai kekuatan yang
lebih kuat, masih menurut Twikromo, maka penggunaan simbol pun sering
diaktualisasikan. Jika dihubungkan dengan makhluk halus, maka Javanisme
mengenal penguasa makhluk halus seperti penguasa Gunung Merapi, penguasa Gunung
Lawu, Kayangan nDelpin, dan Laut Selatan. Penguasa Laut Selatan inilah yang
oleh orang Jawa disebut Kanjeng Ratu Kidul. Keempat penguasa tersebut mengitari
Kesultanan Yogyakarta. Dan untuk mencapai keharmonisan, keselarasan dan
keseimbangan dalam masyarakat, maka raja harus mengadakan komunikasi dengan
“makhluk-makhluk halus” tersebut.
Menurut Twikromo, bagi raja Jawa berkomunikasi
dengan Ratu Kidul adalah sebagai salah satu kekuatan batin dalam mengelola
negara. Sebagai kekuatan datan kasat mata (tak terlihat oleh mata), Kanjeng
Ratu Kidul harus dimintai restu dalam kegiatan sehari-hari untuk mendapatkan
keselamatan dan ketenteraman.
Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ini
diaktualisasikan dengan baik. Pada kegiatan labuhan misalnya, sebuah upacara
tradisional keraton yang dilaksanakan di tepi laut di selatan Yogyakarta, yang
diadakan tiap ulang tahun Sri Sultan Hamengkubuwono, menurut perhitungan tahun
Saka (tahun Jawa). Upacara ini bertujuan untuk kesejahteraan sultan dan
masyarakat Yogyakarta.
Kepercayaan terhadap Kanjeng Ratu Kidul juga
diwujudkan lewat tari Bedaya Lambangsari dan Bedaya Semang yang diselenggarakan
untuk menghormati serta memperingati Sang Ratu. Bukti lainnya adalah dengan
didirikannya sebuah bangunan di Komplek Taman Sari (Istana di Bawah Air),
sekitar 1 km sebelah barat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dinamakan
Sumur Gumuling. Tempat ini diyakini sebagai tempat pertemuan sultan dengan Ratu
Pantai Selatan, Kanjeng Ratu Kidul.
Penghayatan mitos Kanjeng Ratu Kidul tersebut
tidak hanya diyakini dan dilaksanakan oleh pihak keraton saja, tapi juga oleh
masyarakat pada umumnya di wilayah kesultanan. Salah satu buktinya adalah
adanya kepercayaan bahwa jika orang hilang di Pantai Parangtritis, maka orang
tersebut hilang karena “diambil” oleh sang Ratu.
Selain Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat,
mitos Kanjeng Ratu Kidul juga diyakini oleh saudara mereka, Keraton Surakarta
Hadiningrat. Dalam Babad Tanah Jawi memang disebutkan bahwa Kanjeng Ratu Kidul
pernah berjanji kepada Panembahan Senopati, penguasa pertama Kerajaan Mataram,
untuk menjaga Kerajaan Mataram, para sultan, keluarga kerajaan, dan masyarakat
dari malapetaka. Dan karena kedua keraton (Yogyakarta dan Surakarta) memiliki
leluhur yang sama (Kerajaan Mataram), maka seperti halnya Keraton Yogyakarta,
Keraton Surakarta juga melaksanakan berbagai bentuk penghayatan mereka kepada
Kanjeng Ratu Kidul. Salah satunya adalah pementasan tari yang paling sakral di
keraton, Bedoyo Ketawang, yang diselenggarakan setahun sekali pada saat
peringatan hari penobatan para raja. Sembilan orang penari yang mengenakan
pakaian tradisional pengantin Jawa mengundang Ratu Kidul untuk datang dan
menikahi susuhunan, dan kabarnya sang Ratu kemudian secara gaib muncul dalam
wujud penari kesepuluh yang nampak berkilauan.
Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ternyata juga
meluas sampai ke daerah Jawa Barat. Anda pasti pernah mendengar, bahwa ada
sebuah kamar khusus (nomor 308) di lantai atas Samudera Beach Hotel, Pelabuhan
Ratu, yang disajikan khusus untuk Ratu Kidul. Siapapun yang ingin bertemu
dengan sang Ratu, bisa masuk ke ruangan ini, tapi harus melalui seorang
perantara yang menyajikan persembahan buat sang Ratu. Pengkhususan kamar ini
adalah salah satu simbol ‘gaib’ yang dipakai oleh mantan presiden Soekarno.
Sampai sekarang, di masa yang sangat modern
ini, legenda Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan,
adalah legenda yang paling spektakuler. Bahkan ketika anda membaca kisah ini,
banyak orang dari Indonesia atau negara lain mengakui bahwa mereka telah
bertemu ratu peri yang cantik mengenakan pakaian tradisional Jawa. Salah satu
orang yang dikabarkan juga pernah menyaksikan secara langsung wujud sang Ratu
adalah sang maestro pelukis Indonesia, (almarhum) Affandi. Pengalamannya itu
kemudian ia tuangkan dalam sebuah lukisan.
Kali Gajah Wong
Dalam kisah disebutkan, Kerajaan Mataram
pernah berpusat di Kotagede, kurang lebih 7 kilometer arah tenggara kota
Yogyakarta. Pada waktu itu Kerajaan Mataram dipimpin oleh Sultan Agung yang
mempunyai beribu-ribu prajurit, termasuk pasukan berkuda dan pasukan gajah.
Kanjeng sultan juga mempunyai abdi dalem-abdi dalem yang setia. Di antara abdi
dalem itu terdapat seorang srati, bernama Ki Sapa Wira.
Setiap pagi, gajah Sultan yang bernama Kyai
Dwipangga itu selalu dimandikan oleh Ki Sapa Wira di sungai di dekat Kraton
Mataram. Oleh karena itu, gajah dari Negeri Siam itu selalu menurut dan
terbiasa dengan perlakuan lembut Ki Sapa Wira. Pada suatu hari, Ki Sapa Wira
sakit bisul di ketiaknya sehingga ia tidak bisa bergerak bebas, apalagi harus
bekerja memandikan gajah. Oleh karena itu, Ki Sapa Wira menyuruh adik iparnya
yang bernama Ki Kerti Pejok untuk menggantikan pekerjaannya. Sebenarnya, nama
asli Ki Kerti Pejok adalah Kertiyuda. Namun karena terkena penyakit polio sejak
lahir sehingga kalau berjalan meliuk-liuk pincang atau pejok menurut istilah
Jawa, maka ia pun dipanggil Kerti Pejok.
“Tolong gantikan aku memandikan Kyai
Dwipangga, Kerti,” kata Ki Sapa Wira.
“Baik, Kang,” jawab Ki Kerti. “Tapi bagaimana
jika nanti Kyai Dwipangga tidak mau berendam, Kang?” sambungnya.
“Biasanya aku tepuk kaki belakangnya, lalu aku
tarik buntutnya,” jawab Ki Sapa Wira.
Pagi itu Ki Kerti sudah berangkat menuju
sungai bersama Ki Dwipangga. Badan gajah itu dua kali lipat badan kerbau,
belalainya panjang, dan gadingnya berwarna putih mengkilat. Ki Kerti Pejok
membawakan dua buah kelapa muda untuk makanan Ki Dwipangga agar gajah itu patuh
kepadanya.
“Nih, ambillah untuk sarapan …,” celetuk Ki
Kerti sambil melemparkan sebuah kelapa muda ke arah Ki Dwipangga.
“Prak ….” kelapa itu ditangkap oleh Ki Dwipangga dengan belalainya lalu
dibanting pada batu besar di pinggir jalan. Dua buah kelapa sudah terbelah, dan
Ki Dwipangga memakannya dengan lahap. Belum habis kelapa yang kedua, Ki Kerti
sudah menyuruh Ki Dwipangga untuk berdiri dan berjalan lagi. Dipukulnya pantat
gajah itu dengan cemeti yang dibawanya.
Setibanya di sungai, Ki Kerti menyuruh Ki
Dwipangga untuk berendam. Sesaat kemudian, Ki Kerti segera memandikan gajah
itu. Ia menggosok-gosok tubuh gajah tersebut dengan daun kelapa supaya
lumpur-lumpur yang melekat cepat hilang. Setelah bersih, gajah itu segera
dibawa pulang oleh Ki Kerti menuju kandangnya.
“Kang, gajahnya sudah saya mandikan sampai
bersih,” lapor Ki Kerti kepada Ki Sapa Wira.
“Ya, terima kasih. Aku harap besok pagi kamu
pergi memandikan Ki Dwipangga lagi. Setiap hari gajah itu harus dimandikan,
apalagi pada saat musim kawin begini,” jawab Ki Sapa Wira sambil menghisap
cerutunya.
Keesokan harinya, pagi-pagi Ki Kerti
mendatangi rumah Ki Sapa Wira untuk menjemput Ki Dwipangga. Pagi itu langit
kelihatan mendung, namun tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Segera Ki
Kerti Pejok membawa Ki Dwipangga menuju sungai. Kali ini Ki Kerti Pejok agak
kecewa karena sungai tempat memandikan gajah tersebut kelihatan dangkal. ‘Mana
mungkin dapat memandikan gajah jika untuk berendam pun tidak bisa,’ pikir Ki
Kerti Pejok. Kemudian ia membawa Ki Dwipangga ke arah hilir untuk mencari
genangan sungai yang dalam.
“Ah, di sini kelihatannya lebih dalam. Aku
akan memandikan Ki Dwipangga di sini saja. Dasar, Kanjeng Sultan orang yang
aneh. Sungai sekecil ini kok digunakan untuk memandikan gajah,” gerutu Ki Kerti
Pejok sambil terus menggosok punggung Ki Dwipangga. Belum habis Ki Kerti Pejok
menggerutu, tiba-tiba banjir bandang datang dari arah hulu.
“Hap … Hap … Tulung … Tuluuung …,” teriak Ki
Kerti Pejok sambil melambai-lambaikan tangannya. Ia hanyut dan tenggelam
bersama Ki Dwipangga hingga ke Laut Selatan. Keduanya pun mati karena tidak ada
seorang pun yang dapat menolongnya.
Untuk mengingat peristiwa tersebut, Sultan
Agung menamakan sungai itu Kali Gajah Wong, karena kali itu telah menghanyutkan
gajah dan wong. Sungai itu terletak di sebelah timur kota Yogyakarta. Konon, tempat Ki Kerti memandikan gajah itu saat ini bersebelahan
dengan kebun binatang Gembiraloka.
Asal-Usul Gunung Merapi
Diceritakan kembali oleh Samsuni
Gunung Merapi terletak di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dan di beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah seperti Kabupaten
Magelang, Boyolali, dan Klaten. Menurut cerita masyarakat setempat, dahulu
daerah yang kini ditempati oleh Gunung Merapi masih berupa tanah datar. Oleh
karena suatu keadaan yang sangat mendesak, para dewa di Kahyangan bersepakat
untuk memindahkan Gunung Jamurdipa yang ada di Laut Selatan ke daerah tersebut.
Namun setelah dipindahkan, Gunung Jamurdipa yang semula hanya berupa gunung
biasa (tidak aktif) berubah menjadi gunung berapi. Apa yang menyebabkan Gunung
Jamurdipa berubah menjadi gunung berapi setelah dipindahkan ke daerah tersebut?
Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Gunung Merapi berikut ini!
* * *
Alkisah, Pulau Jawa adalah satu dari lima pulau terbesar di Indonesia.
Konon, pulau ini pada masa lampau letaknya tidak rata atau miring. Oleh karena
itu, para dewa di Kahyangan bermaksud untuk membuat pulau tersebut tidak
miring. Dalam sebuah pertemuan, mereka kemudian memutuskan untuk mendirikan
sebuah gunung yang besar dan tinggi di tengah-tengah Pulau Jawa sebagai
penyeimbang. Maka disepakatilah untuk memindahkan Gunung Jamurdipa yang berada
di Laut Selatan ke sebuah daerah tanah datar yang terletak di perbatasan
Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kabupaten Magelang,
Boyolali, serta Klaten Provinsi Jawa Tengah.
Sementara itu, di daerah di mana Gunung Jamurdipa akan ditempatkan
terdapat dua orang empu yang sedang membuat keris sakti. Mereka adalah Empu
Rama dan Empu Pamadi yang memiliki kesaktian yang tinggi. Oleh karena itu, para
dewa terlebih dahulu akan menasehati kedua empu tersebut agar segera pindah ke
tempat lain sehingga tidak tertindih oleh gunung yang akan ditempatkan di
daerah itu. Raja para dewa, Batara Guru pun segera mengutus Batara Narada dan
Dewa Penyarikan beserta sejumlah pengawal dari istana Kahyangan untuk membujuk
kedua empu tersebut.
Setiba di tempat itu, utusan para dewa langsung menghampiri kedua empu
tersebut yang sedang sibuk menempa sebatang besi yang dicampur dengan
bermacam-macam logam. Betapa terkejutnya Batara Narada dan Dewa Penyarikan saat
menyaksikan cara Empu Rama dan Empu Pamadi membuat keris. Kedua Empu tersebut
menempa batangan besi membara tanpa menggunakan palu dan landasan logam, tetapi
dengan tangan dan paha mereka. Kepalan tangan mereka bagaikan palu baja yang
sangat keras. Setiap kali kepalan tangan mereka pukulkan pada batangan besi
membara itu terlihat percikan cahaya yang memancar.
“Maaf, Empu! Kami utusan para dewa ingin berbicara dengan Empu berdua,”
sapa Dewa Penyarikan.
Kedua empu tersebut segera menghentikan pekerjaannya dan kemudian
mempersilakan kedua utusan para dewa itu untuk duduk.
“Ada apa gerangan, Pukulun?[1] Ada yang dapat hamba bantu?” tanya Empu
Rama.
“Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan permintaan para dewa kepada
Empu,” jawab Batara Narada.
“Apakah permintaan itu?” tanya Empu Pamadi penasaran, ”Semoga permintaan
itu dapat kami penuhi.”
Batara Narada pun menjelaskan permintaan para dewa kepada kedua empu
tersebut. Setelah mendengar penjelasan itu, keduanya hanya tertegun. Mereka
merasa permintaan para dewa itu sangatlah berat.
“Maafkan hamba, Pukulun! Hamba bukannya bermaksud untuk menolak
permintaan para dewa. Tapi, perlu Pukulun ketahui bahwa membuat keris sakti
tidak boleh dilakukan sembarangan, termasuk berpindah-pindah tempat,” jelas
Empu Rama.
“Tapi Empu, keadaan ini sudah sangat mendesak. Jika Empu berdua tidak
segera pindah dari sini Pulau Jawa ini semakin lama akan bertambah miring,”
kata Dewa Penyarikan.
“Benar kata Dewa Penyarikan, Empu. Kami pun bersedia mencarikan tempat
yang lebih baik untuk Empu berdua,” bujuk Empu Narada.
Meskipun telah dijanjikan tempat yang lebih baik, kedua empu tersebut
tetap tidak mau pindah dari tempat itu.
“Maaf, Pukulun! Kami belum dapat memenuhi permintaan itu. Kalau kami
berpindah tempat, sementara pekerjaan ini belum selesai, maka keris yang sedang
kami buat ini tidak sebagus yang diharapkan. Lagi pula, masih banyak tanah
datar yang lebih bagus untuk menempatkan Gunung Jamurdipa itu,” kata Empu
Pamadi.
Melihat keteguhan hati kedua empu tersebut, Empu Narada dan Dewa
Penyaringan mulai kehilangan kesabaran. Oleh karena mengemban amanat Batara
Guru, mereka terpaksa mengancam kedua empu tersebut agar segera pindah dari
tempat itu.
“Wahai, Empu Rama dan Empu Pamadi! Jangan memaksa kami untuk mengusir
kalian dari tempat ini,” ujar Batara Narada.
Kedua empu tersebut tidak takut dengan acaman itu karena mereka merasa
juga sedang mengemban tugas yang harus diselesaikan. Oleh karena kedua belah
pihak tetap teguh pada pendirian masing-masing, akhirnya terjadilah perselisihan
di antara mereka. Kedua empu tersebut tetap tidak gentar meskipun yang mereka
hadapi adalah utusan para dewa. Dengan kesaktian yang dimiliki, mereka siap
bertarung demi mempertahankan tempat itu. Tak ayal, pertarungan sengit pun tak
terhindarkan. Meskipun dikeroyok oleh dua dewa beserta balatentaranya, kedua
empu tersebut berhasil memenangkan pertarungan itu.
Batara Narada dan Dewa Penyarikan yang kalah dalam pertarungan itu
segera terbang ke Kahyangan untuk melapor kepada Batara Guru.
“Ampun, Batara Guru! Kami gagal membujuk kedua empu itu. Mereka sangat
sakti mandraguna,” lapor Batara Narada.
Mendengar laporan itu Batara Guru menjadi murka.
“Dasar memang keras kepala kedua empu itu. Mereka harus diberi
pelajaran,” ujar Batara Guru.
“Dewa Bayu, segeralah kamu tiup Gunung Jamurdipa itu!” seru Batara Guru.
Dengan kesaktiannya, Dewa Bayu segera meniup gunung itu. Tiupan Dewa
Bayu yang bagaikan angin topan berhasil menerbangkan Jamurdipa hingga
melayang-layang di angkasa dan kemudian jatuh tepat di perapian kedua empu
tersebut. Kedua empu yang berada di tempat itu pun ikut tertindih oleh Gunung
Jamurdipa hingga tewas seketika. Menurut cerita, roh kedua empu tersebut
kemudian menjadi penunggu gunung itu. Sementara itu, perapian tempat keduanya
membuat keris sakti berubah menjadi kawah. Oleh karena kawah itu pada mulanya
adalah sebuah perapian, maka para dewa mengganti nama gunung itu menjadi Gunung
Merapi.
Demikian cerita Asal Mula Gunung Merapi dari Provinsi Yogyakarta dan
Jawa Tengah, Indonesia. Hingga saat ini, kawah Gunung Merapi tersebut masih
aktif dan sering mengeluarkan lahar disertai dengan hembusan awan panas. Sejak
tahun 1548, gunung berapi ini sudah meletus sebanyak kurang lebih 68 kali.
Hingga cerita ini ditulis (27/10/2010), Gunung Merapi kembali meletus dan
mengakibatkan ribuan warga mengungsi, ratusan rumah hancur, serta puluhan orang
meninggal dunia, termasuk Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi.
Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa
orang yang tidak mau mendengar nasehat akan mendapatkan celaka seperti halnya
Empu Rama dan Empu Pamadi. Oleh karena enggan mendengar nasehat para dewa,
akibatnya mereka tewas tertindih Gunung Jamurdipa. (Samsuni/sas/209/10-10)